PERAN MEDIA MASSA DALAM MEMELIHARA & MEMANTAPKAN STABILITAS KEAMANAN


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Media Massa Dalam Peraturan Undang-Undang
Sejak lahirnya, pers Indonesia adalah pers berjoang, berjoang melawan ke tidakadilan, ketidakbenaran, menghendaki kejujuran, menuju kearah pengakuan martabat dan derajat bangsa Indonesia. Ia mampu mengintegrasikan diri dengan rakyat, membawa suara dari geluidloze massa, dapat merefleksikan dan menggambarkan perasaan rakyat. Ia adalah pejoang nasional.
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002). Media menampilkan diri sendiri dengan peranan yang diharapkan, dinamika masyarakat akan terbentuk, dimana media adalah pesan. Jenis media massa yaitu media yang berorentasi pada aspek
1.      penglihatan (verbal visual) misalnya media cetak,
2.      pendengaran (audio) semata-mata (radio, tape recorder), verbal vokal dan
3.      pada pendengaran dan penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat ferbal visual vokal (Liliweri, 2001). 
Definisi media massa  ( berdasar UU No.40 thn 1999) Adalah lembaga social dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan  maupun gambar dalam segala jenis media. Dalam arti luas pers diartikan sebagai semua media baik cetak maupun elektronik (Koran, radio, tv dll).  Dalam arti sempit pers diartikan sebagai media cetak saja (Koran, majjalah dll).  Pers merupakan salah satu perwujudan dari hak kebebasan berbicara , berpendapat yang diatur dalam UUD 45 pasal 28. UU yang mengatur tentang pers adalah :
1.      UU No.11 tahun 1966
2.      UU No 40 thn 1999
Hukum mengenai mass-communications, pers khususnya, yang meliputi aturan –aturan mengenai publikasi (publication), mengenai perusahaan (enterprise regulation), aturan mengenai profesinya (profesional regulation), dan aturan internasional(international regulation) mengandung didalamnya segal ethik yang mengandung aturan –aturan hukum, kesusilaan, moral dan agama.
Diketahui bahwa usaha yang bersangkutan dengan pers dan informasi sering menjadi subjek dari aturan-aturan, yang bertjuan untuk melindungi masyarakat terhadap penyalahgunaan  dan kadang-kadang perversi dari kebebasan untuk menyatakan pendapatnya. Dan mengatur hasil final dari penyebaran pemberitaan dan pendapat dalam publikasinya. Karena itu dia dimuat dalam aturan hukum, dalam “code of publication”, yaitu pembatasan repressif terhadap kebebasan untuk menyatakan pendapat.

2.2  Media Massa, Publik dan Pemerintahan
Media Massa, Publik, Pemerintah diletakkan dalam suatu rangkaian kesatuan yang tak dapat terpisahkan satu sama lain, bagi suatu perkembangan yang bebas dan bertanggung jawab, yang konstruktif dan adequate dalam alam demokrasi.
Ada semacam “shared responsibility” yang dalam hal ini Pula terdapat suatu keseimbangan antara freedom dan responsibility. Ketiga-tiganya, (pers publik dan pemerintah) harus memperoleh suatu accentuasi yang sama kuatnya dan mendapat perlakuan yang sama “gelijkwaardig” untuk dapat memberikan gambaran dan refleksi yang wajar mengenai masalah pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam suatu negara demokrasi, maupun demokrasi pancasila.
Media bisa mendorong agar praktik pemerintah dan penggunaan dana publik menjadi transparan. Tanpa transparansi, keterbukaan dan tanggung jawab, tak akan ada pemerintah yang baik dan tanpa pemerintah yang baik, demokrasi dalam bahaya. Sehingga menyebabkan terjadinya demo masyarakat yang menuntut korupsi. hal inilah yang nantinya menciptakan ketidak stabilan dalam keamanan nasional. Selama bertahun-tahun terbukti bahwa para jurnalis yang berpikiran independen dan menjalankan tugasnya dengan baik telah memainkan peran yang penting dalam mempromosikan demokrasi. Tidak sedikit diantara mereka yang bahkan mempertaruhkan kehidupan dan kebebasannya dengan penuh resiko dalam upaya mereka untuk mendorong prilaku pemerintah dan korporat yang trasnparan dan bertanggung jawab. Misalnya dari 68 kasus pembunuhan terhadap jurnalis pada 2001, 15 diantaranya adalah kematian wartawan karena mereka sedang melakukan peliputan korupsi.  
Keterlibatan media memang bisa membantu dalam membingkai (frame) isu-isu yang berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan kepentingan warga masyarakat. Sektor media independen yang terampil dan hidup juga dipandang merupakan sarana yang paling menjanjikan bagi masyarakat untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan warga masyarakat untuk mendorong dan menjamin reformasi pemerintahan dan pengentasan kemiskinan.
Media sebagai salah satu sektor yang penting bagi teciptanya good governance, suatu tatanan pengelolaan kenegaraan dan kemasyarakatan yang baik, dimana sektor-sektor yang terlibat didalamnya saling terkait, saling membutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis. Yakni, masyarakat yang bercirikan telah menjalankan prinsip-prinsip transparansi kebijakan, kesetaraan pelayanan publik, dan partisipasi publik yang baik. Sektor-sektor yang saling terkait dan saling membutuhkan itu adalah media, masyarakat, pemerintah, dan swasta.
Salah satu unsur penting dari media yang makin bebas dan kaitannya dengan good governance adalah tersedianya informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk menunjukkan kinerja macam apa yang ditunjukkan oleh para pejabat dalam menjalani mandat mereka sebagai pemerintah local. Pippa Norris dan Dieter Zinnbauer, menyebut bahwa “dalam masyarakat mosern, ketersediaa informasi sangat penting artinya untuk mengukur kualitas pembuatan keputusan oleh pemerintah dan masyarakat.” (Noris dan Zinnbauer 2002 : 4)

2.3  Peran Media Massa
Media massa memiliki peran signifikan dalam upaya pengembangan sistem demokrasi multipartai, seperti penelitian yang dilakukan oleh kasoma (2000). Dia menemukan fakta bahwa pers telah berperan secara nyata dalam memperkenalkan, mengembangkan dan memantapkan sistem multipartai dinegara-negara afrika awal dekade 1990-an. Pers juga berhasil menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi dikalangan masyarakat, termasuk kalangan elite politik. Sistem multipartai memungkinkan adanya pemisahan kekuasaan dan penyeimbangan kekuasaan yang memungkinkan adanya koreksi dan saling pergantian peran (check and ballance).
Uhlin pernah mengamati upaya pengembangan demokrasi di Indonesia sebelum meyeruakkan gerakan reformasi. Uhlin (1997) memperoleh kesimpulan bahwa media massa telah berperan dalam pengembangan demokrasi melalui dua cara. Pertama, memberikan prioritas terhadap perkembangan yang terjadi di tanah air yang mendukung upaya pengembangan demokrasi. Misalnya, media massa memberikan amplifikasi secara ekstensif terhadap meluasnya tuntutan akan keterbukaan dengan pemberitaan yang sangat gencar mengenai aksi-aksi protes yang dilakukan oleh kalangan aktivis pro – demokrasi di Indonesia.
Kedua, media massa di Indonesia memberikan penekananan terhadap pengembangan demokrasi yang terjadi di luar negeri, misalnya negara-negara pecahan unisoviet, eropa timur, china, thailand, dan filipina.
Demikian juga , Pawito (2002) melakukan penelitian mengenai peran media massa di Indonesia periode transisi 1997 – 1999. Dalam penelitiannya, pawito mendapatkan fakta, antara lain bahwa media massa memalinkan peran penting dalam pengembangan demokrasi di Indonesia. Media massa mampu menumbuhkan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai politik, memfasilitasi debat publik mengenai berbagai persoalan penting yang di hadapi bangsa, mengambil peran secara ekstensif dalam pengawasan kebijakan dan mempromosikan tuntutan –tuntutan perubahan mendasar sebagaimana disampaikan secara luas oleh masyarakat melalui demonstrasi ataupun lainnya.
 Tuntutan-tuntutan tersebut, misalnya tuntutan pengunduran diri Predisen Soeharto. Akhirnya presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Stelah peristiwa ini perubahan kearah demonstrasi terus bergulir. MPR menyelenggarakan sidang istimewa pada bulan November 1998 dan pemilihan umum multipartai yang terbuka dan lebih demokratik terlaksana Juni 1999 dengan hasil kemenangan PDIP-P atas Golkar dengan hasil 153 dibanding 120 dari total 462 kursi DPR yang diperebutkan dalam pemilihan umum legislatif 1999.
Selanjutnya Curran (1991 : 277 – 278 ) mengidentifikasikan enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam upaya pengembangan demokrasi yakni : (a) menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik, (b) mengartikulasikan pendapat umum, (c) memaksa pemerintah mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh rakyat, (d) mendidik warga negara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan dalam pemilihan umum, (e) memberikan kepada publik saluran-saluran komunikasi politik diantara berbagai kelompok msyarakat yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan (f) membela individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kalangan eksekutif dan cabang kekuasaan lainnya.
Lima tahun kemudian Curran (1996: 103-4), merevisi gagasan demikian tersebut dengan hanya menekankan pada tiga fungsi pokok media massa (terutama pers) dalam upaya pengembangan demokrasi. Ketiga fungsi yang dimaksudkan adalah : (a) fungsi informasi, (b) fungsi representasi dan (c) fungsi membantu mencapai tujuan bersama masyarakat. Fungsi pertama, (fungsi informasi) menunjuk pada tugas pers untuk tidak sekedar bertindak sebagai pelapor peristiwa-peristiwa yang terjadi, tetapi juga dapat menumbuhkan kemajemukan pemahaman atas peristiwa-peristiwa tersebut. Semakin banyak media massa, maka akan semakin bervariasi sumber dengan frame beragam dalam melaporkan fakta ataupun pendapat kepada publik. Hal penting untuk mendorong individu-individu agar  masyarakat bersikap kritis terhadap isu yang berkembang.
Fungsi kedua ( fungsi representasi) berkenaan dengan tututan agar media massa dapat membantu menciptakan alternatif-alternatif perspektif yang diperhitungkan oleh masyarakat, kendati walaupun berasal dari kalangan minoritas. Fungsi ini menjadi penting, sebab demokrasi sangat menjunjung tinggi kesederajatan dan kemajemukan. Dalam praktek demokrasi, maka “majority rule” harus diimbangi dengan “minority ”(lihat misalnya Grossman dan Levin:1995:787 - 793). Pemerintahan oleh mayoritas tanpa diimbangi jaminan akan hak-hak minoritas, maka hanya akan mengarah kepada diktator yang menindas kalangan minoritas. Disinilah media massa dituntut serius dalam meyeimbangkan bobot liputan dan sifat tidak memihak (impartial) sehubungan dengan segala kemajemukan atau barangkali juga konflik yang ada.
Fungsi ketiga, membantu mewujudkan kebersamaan masyarakat, menunjukkan tugas media massa tidak hanya melaporkan ketidakberesan yang terjadi dalam pemerintahan dan masyarakat. Lebih dari itu, media massa dituntut untuk dapat membantu mewujudkan “the common objective of society through agreement or compromise between opposed groups” (tujuan bersama masyarakat melalui kesepakatan atau kompromi-kompromi diantara kelompok-kelompok yang saling berlawanan). Fungsi ini menuntut media massa secara ekstensif mempromosikan dan memfasilitasi prosedur-prosedur demokratik dalam upaya mendefinisikan tujuan-tujuan bersama, serta mengamplikasikan aspirasi, gagasan atau saran-saran mengenai berbagai hal, terutama ketika perbedaan mulai menajam dan ada tanda-tanda bahwa konflik akan mengalami eskalasi.

2.4  Kekuatan media massa
Selain sebagai fungsi sebagaimana baru saja dikemukakan, masih terdapat tiga hal yang menandai kekuatan media massa ditengah masyarakat, yakni:
(a)      Mengkontruksi dan mendekontruksi realitas hingga tercipta citra dan persepsi-persepsi tertentu pada khalayak,
(b)     Mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan-tuntutan dan
(c)       Memproduksi dan mereduksi identitas budaya.

Mengkontruksi dan mendekontruksi realitas
            Kekuatan media massa dalam mengkontruksi dan mendekontruksi realitas terutama pada pemberitaan, di samping bentuk isi lain seperti tajuk (editorial), opini, dan karikatur pada media cetak, dan talk show pada media elektronik. Dalam pemberitaan, media massa biasanya memberikan prioritas liputan mengenai peristiwa ataupun isu tertentu dan mengabaikan yang lain (agenda setting ). Disamping ini, media massa juga memberikan penekanan pada substansi persoalan tertentu berkenaan dengan peristiwa atau isu tertentu dan mengabaikan substansi persoalan lain (framing). Dengan kedua cara ini media massa mengkontruksi dan mendekontruksi realitas.
Frame media menunjukkan hal-hal seperti apa mengenai apa kontroversi berkembang dan esensi dari isu tersebut (Gramson dan modigliani, 1987 : 143). Betolak dari pandangan ini, maka frame media mengkontruksikan realitas dengan cara memberikan penonjolan terhadap substansi-substansi persoalan dan esensi dari peristiwa-peristiwa atau isu yang diberitakan. Priming lebih menunjuk pada “the effect of some preceding stimulus or event on how we rect, broadly defined, to some sub sequent stimulus” (pengaruh dari stimuli yang diterima atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya, sacara luas didefinisikan terhadap bagaimana orang memberikan reaksi terhadap stimuli atau peristiwa-peristiwa selanjutnya) (Roskos – Ewoldsen, 2002:97).

Mengagregasikan dan Mengartikulasikan Kepentingan
Media massa memiliki kekuatan untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan. Hal demikian dapat diamati setidaknya dalam surat pembaca, liputan berita yang ekstensif hasil wawancara dengan berbagai elite politik ataupun tokoh masyarakat, pemberitaan tentang penyampaian aspirasi termasuk aksi-aksi protes dan demonstrasi, pemuatan karikatur atau kartun, polling pendapat umum, dan acara talkshow.
            Apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 menunjukkan kecenderungan yang sama. Para aktivis pro demokrasi yang terdiri dari kalangan mahasiswa, akademisi, kalangan perkerja, serikat perempuan, dan tokoh masyarakat termasuk sejumlah pensiunan jenderal ikut ambil bagian dalam aksi-aksi demonstrasi menuntut perubahan politik secara lebih mendasar termasuk pengunduran diri presiden Soeharto. Media massa ketika itu juga telah bertindak sebagai aktor yang akrif berperan dalam mepromosikan perubahan. Apa yang terjadi kemudian adalah perubahan dramatis termasuk pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 yang kemudian disusul dengan sidangn istimewa MPR dan Pemilihan Umum 1999.

Memproduksi Dan Merepoduksi Identitas Budaya
            Media massa menyampaikan atau menyebarluaskan kepada publik nilai-nilai budaya seperti yang terwujud dalam busana fashion, corak arsitektur, patung, lukisan, gaya hidup, kebiasaan, menu masakan, bentuk-bentuk kesenian, acara keagamaan dan adat istiadat yang kesemuanya memiliki signifikasi dengan identitas budaya. Melalui berbagai paket acara seperti misalnya pemberitaan, feature, talkshow, iklan tayangan film, sinetro, pentas musik dan reality show nilai-nilai budaya dan identitas budaya diamplifikasi dan ditransmisikan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, bahkan juga dari suatu periode waktu ke periode waktu yang lain.
            Kekuatan media massa dalam memproduksi dan mereproduksi identitas budaya untuk konteks Indonesia dapat di cermati misalnya pada setiap hari raya keagamaan. Produksi dan reproduksi identitas budaya tidak hanya dapat dilihat melalui penayangan ataupun pemberitaan pelaksanaan upacara keagamaan, tetapi juga adat-kebiasaan masyarakat pemeluk berbagai agama. Penting untuk dikemukakan bahwa nilai-nilai budaya merupakan entitas yang dinamis, sehingga seringkali kita dapat menjumpai adanya bukti-bukti akulturasi, asimilasi, atau mungkin bahkan ada semacam resentensi budaya dan bahkan upaya pengembangan budaya tandingan (counter culture). Kecenderungan demikian dapat diamati, misalnya, kalangan muda Indonesia sekarang kurang menyukai kesenian wayang dan seni karawitan. Sebagian generasi muda Indonesia sekarang menyukai jenis musik rock atau country kendati sebagian yang lain masih meyukai seni karawitan atau kesenian wayang atau mengembangkan jenis musik campursari. Media massa dalam hal ini pada kenyataannya mengekspose kesemuanya.



2.5  Pengaruh Media Massa
Istilah pengaruh dan juga dampak media massa dalam konteks politik sangat melekat dengan fungsi media. Pengaruh seringkali dibedakan dengan dampak. Pengaruh lebih menunjuk pada apa yang terjadi pada tingkat individual (bersifat mikro), sedangkan dampak lebih menunjuk pada apa yang terjadi di tingkat masyarakat secara lebih luas (bersifat makro). Dari sinilah, banyak peneliti cenderung menganggap pengaruh pada dasarnya sama dengan dampak.
Kendati demikian penelitian dengan metode eksperimen mengenai pengaruh media massa tumbuh berkembang secara bervariasi. Studi yang dilakukan oleh Carl Hovland dan kawan-kawan (dari Yale University) di tahun 1949 mengenai pengaruh film-film (film dokumentar berdurasi sekitar 50 menit)terhadap pembentukan sikap-sikap dikalangan para prajurit di Amerika, misalnya, menemukan kenyataan bahwa (Roger, 1994: 380-381):
a.       Pesan dengan sumber yang memiliki kredibilitas tinggi lebih memungkinkan terjadinya perubahan sikap segera setelah penyampaian pesan. Akan tetapi, ada kecenderungan bahwa sumber lambat laun akan dilupakan oleh audience setelah suatu kurun waktu berjalan.
b.      Pesan-pesan dengan unsur pembangkit rasa takut dalam dosis ringan lebih memungkinkan terjadinya perubahan sikap pada khalayak dibandingkan dengan dosis tinggi. Hovland dan Kawan-kawan mengingatkan bahwa pembangkitan rasa takut dengan dosis tinggi dalam pesan-pesan persuasi atau propaganda akan membangkitkan rasa curiga mengenai maksud-maksud penyampaian pesan dikalangan audience.
c.       Pesan-pesan bersifat sepihak (one – sided messages) lebih efektif mempengaruhi sikap audience yang berpendidikan rendah, sementara pesan-pesan yang bersifat kedua belah pihak (two – sided messages) lebih efektif berpengaruh dikalangan audience yang berpendidikan tinggi.
d.      Pesan-pesan yang diakhiri dengn kesimpulan-kesimpulan yang jelas cenderung lebih efektif berpengaruh dikalangan audience ketimbang pesan-pesan tanpa disertai kesimpulan yang jelas.
e.       Individu-individu dengan perasaan kurang puas terhadap situasi yang ada dam kurang memiliki harapan cenderung lebih mudah berubah sikap dibandingkan dengan individu-individu yang agresif atau pendiam. Individu yang memiliki selp-concept tinggi lebih munkin menolak pesan-pesan persuasif.
f.       Pesan-pesan persuasif lebih berpengaruh terhadap individu yang lebih banyak terlibat dalam proses-proses persuasi (lebih aktif berpartisipasi misalnya membacakan pesan-pesan atau penyampaian pandangan-pandangan tertentu).
g.      Pesan-pesan persuasi lebih efektif berpengaruh terhadap individu-individu audience yang tidak memiliki ikatan dengan kelompok-kelompok tertentu. Individu audience dapat dipengaruhi apabila pesan-pesan persuasi tidak bertentangan dengan standar nilai yang berlaku dalam kelompok dimana seorang individu menjadi anggotanya.

2.6   Kasus – Kasus Yang Terlibat Dalam Media Massa

2.6.1        Media massa dalam Kontrol  Pemerintah dan Khalayak
Kontrol yang ketat  terhadap media massa,  merujuk kepada  ideologi stabilitas keamanan.  Menurut  Makmur  Keliat (dalam Arnaz dkk, 2009: 19), “Penerapan konsep keamanan nasional, dapat menghasilkan dua rezim penyangkalan HAM yang disebut dengan rezim Deregosi (derogation regime) dan rezim restriksi (restriction regime)”. Rezim derogasi  muncul karena  keamanan nasional diasumsikan merupakan hak istimewa negara (prerogative of state) yang membawa implikasi bahwa tujuan utama lahirnya konsep kemanan nasional adalah melindungi dan melestarikan negara itu sendiri dari berbagai ancaman  yang dapat meruntuhkan negara Di pihak lain, hak kemerdekaan berpikir dan hati nurani,  merupakan hak azasi yang melekat secara universal,  sebagaimana pendapat Asshiddiqie (2010:74), terdapat hak azasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non derogable right yaitu : hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,  hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut Berita negatif, terlebih lagi yang menyangkut  perilaku dalam pemerintahan,   dikaitkan dengan ancaman  yang dapat meruntuhkan negara. 
Sebagaimana dalam pers pembangunan, media wajib  memberitakan program pemerintah dari aspek positif. Karena itu, pesan yang memberitakan seputar korupsi juga tidak lepas dari kontrol lembaga – lembaga pemerintah yang diberi  memiliki otoritas untuk mengendalikan media. Jadi, media tidak memiliki independensi dalam pembeitaan. Bahkan, media juga  dilarang melakukan kecaman yang sifatnya merusak  wewenang penguasa,  dan  selamanya harus tunduk kepada pemerintah  dalam semua bentuk pemberitaan Pers Pembangunan, pada intinya bahwa media seyogianya  menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif,  sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan  secara nasional. Selain itu, kebebasan media dibatasi sesuai dengan 4 prioritas  ekonomi dan pembangunan masyarakat.  Pola ini, bisa jadi sejalan dengan pemikiran integralistik, sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo (dalam Feith dan Castles, 1988:179), bahwa, ” tiap  – tiap negara  mempunyai keistimewaan sendiri  – sendiri  berhubung dengan riwayat dan corak masyarakatnya.
Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan “sociale structur” masyarakat Indonesia, yang nyata  pada masa sekarang, serta harus disesuaikan  dengan panggilan zaman dalam perangkap integralistik,  pengendalian berita, tentu saja  informasi  korupsi yang didifusikan oleh  media,  harus  melalui proses pengawasan yang berlapis, sehingga  kasus korupsi  yang munculpun sesuai dengan  kehendak pemegang kekuasaan. Dampaknya, dengan dalih demi keamanan dan keberlanjutan pembangunan, maka tidak semua kasus korupsi, terlebih lagi yang menyangkut elite dalam kekuaaa negara tidak dapat diberitakan secara  transparan. Dengan kata lain, pemberitaan kasus korupsi, terlebih lagi yang menyangkut pemerintah, tidak akan memperoleh ruang memadai dengan dalih  demi menjaga  stabilitas nasional Lebih dari itu,  sepanjang  pemerintahan sebelum reformasi 1998,  birokrasi pemerintahan memiliki ikatan  primordial  yang kuat terhadap   orientasi politik tunggal dalam kehidupan  bernegara.  Tidak perduli  mereka adalah pemegang  kekuasaan  eksekutif, kekuasaan  yudikatif sebagaimana aparat kejaksaan, maupun kekuasaan legislatif, semua dalam satu sayap politik  Korp Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)  yang tunduk  terhadap  hegemoni kekuasaan politik  pemerintah Alhasil, persoalan apapun, termasuk penyimpangan dalam penggunaan uang negara di dalam  penyelenggaraan pemerintahan,  yang melibatkan  unsur kekuasaan pemerintah, tidak sampai  menimbulkan konflik berkepanjangan yang bisa diendus oleh media massa.
  Semua masalah yang  terjadi di lingkaran kekuasaan pemerintahan, diselesaikan  melalui kompromi,  yang  mengerucut pada kesamaan tujuan, yaitu melanggengkan kekuasaan beserta atribut posisional yang menempatkan birokrasi pemerintahan sebagai kelas dominan,  yang tidak bisa  diusik oleh rakyat (Susanto, 2006).Mencermati  pers dalam kendali pemerintah, secara esensial, khalayak terbiasa berada di lingkaran pemberitaan media massa  yang datar tanpa gejolak. Pemerintah beserta sub-ordinat kekuatan politiknya, memperoleh perlindungan ”manajemen pemberitaan pemerintah”, sehingga merasa nyaman menghadapi pemberitaan media. Secara esensial, paradigma  penyebaran  informasi,  adalah otoritas pemegang kekuasaan  yang bersifat politis. Tentu saja, jauh dari  hak masyarakat untuk memperoleh  informasi  yang realistis, akurat dan dari sumber yang memilliki kredibilitas memadai. Padahal dilihat dari fungsinya, media massa selayaknya  mampu menggambarkan realitas faktual dalam sejumlah kasus korupsi yang merugikan rakyat dalam wujud pemberitaan korupsi yang transparan.
Dominasi pemerintah dalam informasi, tampak  dari penelitian Katz dan Wendel (1978: 237), bahwa dalam proses pembaharuan, kebijakan komunikasi merupakan sistem penyampaian program yang menguntungkan penguasa. Akibatnya keterlibatan berlebihan pemerintah, maka  informasi dari media menjadi satu pola seragam, yang menyulitkan masyarakat mencari informasi alternatif yang  mengandung kebenaran. Sedemikian besar pengaruh kekuasaan pemerintah terhadap media di suatu negara, hakikatnya sebagai tindakan pemerintah, untuk  mengontrol rakyat agar tunduk dan mau menjalankan kehendak pemerintah. Kecenderungan menguasai rakyat, diulas oleh Durkheim (dalam Giddens, 1986 :126 ) yang menyebutkan, “negara sering mempunyai gagasan baru, untuk mengarahkan masyarakat sejauh mungkin”. Pemikiran tersebut sesungguhnya dalam konteks keseimbangan peran yang selaras antara  rakyat dan negara dalam kehidupan bernegara. Sedangkan Chirot (1976:5), berpendapat "melalui kekuasan politiknya, negara mengendalikan semua kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan  politik maupun tidak ada sangkut pautnya politik, seperti penyebaran informasi”.
Pelembagaan kekuatan negara untuk mengontrol informasi, dipastikan berdampak terhadap kualitas berita korupsi. Badan publik negara lebih suka menutup diri terhadap kasus penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi. Padahal, ketertutupan akan berimplikasi buruk dalam penyelenggaraan negara. Ditegaskan dalam pedoman demokrasi, bahwa  kekuasaan yang membendung  fakta  – fakta  dari suatu pemerintahan  adalah kekuasaan yang  akan menghancurkan  pemerintahan tersebut. (Laporan Komisi tentang Kebebasan Informasi Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Tahun 1976 dalam Rodney,2001)Namun hambatan transparansi informasi dalam pemberantasan korupsi melalui media, ternyata bukan dominasi kekuasaan negara saja. Sebab di pihak lain, masyarakat dengan  sejumlah tradisinya, masih mengungulkan ketertutupan. Model komunikasi paternalistik yang mengunggulkan pemilik kekuasaan pada  posisi khusus, yang wajib diikuti kehendak  dan dibela kepentingannya  masih dipelihara dengan baik. Pada akhirnya, dalam jerat keserasian semu, masyarakat  berupaya menyembunyikan sesuatu yang negatif dan mengeksplorasi nilai positif seorang tokoh.
 Dengan pemikiran harmonisasi, orientasi kebelakang dan lebih terpukau  masa lampau,  tetapi kurang tanggap terhadap masa depan,  menyebabkan perangkap paternalistik tidak merasa perlu untuk memberantas korupsi secara terbuka Karena itu,  bukan sesuatu yang aneh,  jika kasus korupsi atau dugaan korupsi yang melibatkan   elite, ketika dipaparkan di media, para pengikutnya tidak setuju. Tindakan yang dilakukan, bisa demonstrasi ke lembaga terkait maupun media massa. Kalau ketidaksetujuannya dimanifestasikan dalam bentuk sesuai peraturan, maka tidak menjadi masalah.
Namun yang  menimbulkan problem adalah jika mereka melakukan tindakan anarkis terhadap para pekerja media dan institusi media massa Terlepas dari perbedaan kepentingan antara media massa dan pemerintah, dan media massa dengan masyarakat, tidak  bisa  diabaikan, sejumlah kasus ataupun dugaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik,  membawa korban 6 jiwa. Tewasnya jurnalis  yang terkait dengan pengungkapan kasus korupsi di media, bukan  hal baru terjadi di Indonesia.
Mengutip catatan primaonline, lima orang wartawan tercatat meninggal dunia atau hilang  yang diduga akibat kriminalisasi pers di Indonesia sejak tahun 1989 hingg 2009 Satu dari lima kasus tersebut terjadi sebelum UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan, dan empat lagi justru setelah UU Pers disahkan," kata Pengurus Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) , Eko Maryadi dalam Pelatihan Hukum Pers Untuk Jurnalis di Padang, Senin (25/1). Korban-korban kriminalisasi pers tersebut, antara lain terkait berita korupsi yang ditulis.
Kekerasan yang muncul dalam kebebasan, dikemukakan oleh Supelli (2010:6), “Tentu membiaknya kekerasan itu adalah paradok yang ironi. Bagaimana tidak, saat kebebasan dirayakan sedemikian rupa, kekerasan turut serta menyusup ke tengah – tengahnya. Bahkan kebebasan itu sendiri  dipakai untuk membenarkan aksi  – kasi brutal”. Kesimpulannya, dalam  kebebasan informasi, wartawan dan media  menghadapi ancaman serius dalam pemberitaan yang menyangkut masalah korupsi, kolusi dan  nepotisme, yang secara terlembaga terus dipertahankan keberadaannya Tidak bisa disangkal, media  yang bebas dalam memberitakan kasus korupsi, dapat memberikan informasi yang  dibutuhkan oleh masyarakat.
Namun, belum tentu kelompok masyarakat lain sependapat dengan pemberitaan media. Karena itu, pengungkapan kasus korupsi  di media bukan mustahil memicu konflik dalam masyarakat.  Tentu saja ini mengkhawatirkan, jika  kebebasan pers,  justru   menimbulkan petentangan,  akibat  ketidaksamaan persepsi  pemberitaan media. Sejalan dengan itu, Eisy (2007: 46), mengingatkan,  bahwa posisi media dalam perkembangan lokal, nasional dan internasional harus tabah untuk bersikap  konsisten dalam peliputannya, yaitu impartial,   fair, balance dan tetap menjadi pelindung masyarakat yang terpingirkan oleh sistem  yang menekan dunia saat ini. Dengan demikian, dalam  kasus - kasus korupsi, kolusi dan penyalahgunaan wewenang  yang diberitakan media, sepanjang  pemegang kekuasaan  dan masyarakat yang mengunggulkan komunalisme,  nilai sektarian dan etnosentrisme,  merasa sebagai  entitas yang  paling berhak menetapkan kebenaran, maka  pemberitaan  korupsi di media  massa, tetap saja masuk dalam wilayah multi tafsir yang subyektif.
Disisilan lain Di bidang komunikasi dan informasi, agenda-agenda reformasi di bidang komunikasi dan informasi antara lain telah memberikan dampak meningkatnya secara pesat peranan media massa menjadi sarana komunikasi dan penyebaran informasi yang paling efektif. Masyarakat telah semakin memahami dan menyadari hak-haknya untuk memperoleh informasi yang benar dan tepat waktu. Penyedia informasi swasta pun dengan cepat telah merespon dengan menyediakan informasi sesuai kebutuhan. Dalam tahun 2003, upaya-upaya penting yang sedang dilakukan adalah menyeimbangkan dan menetralisir informasi yang tidak akurat dan objektif namun tetap tidak membatasi arus informasi. Hal ini sebagai respon terhadap pengaruh negatif kebebasan informasi yang seringkali membingungkan masyarakat atas suatu informasi yang sangat beragam, baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya.

2.6.2        Media Massa Versus Terorisme Dalam Stabilitas Keamanan
Media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama. Pada tingkat ini, teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka dan di lain pihak media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris (Behm, 199l : 239-241). Dalam relasi yang demikian terorisme kemudian tak boleh sekadar dipandang sebagai bentuk kekerasan belaka, namun wujud dari kombinasi antara propaganda dan kekerasan (Sctrmid dan de Graaf, 1982:14). Pada sisi yang lain, nilai manfaat media massa pun diakui dan diterima. Koverasi media terhadap akibat kekerasan terorisme, sebagai contoh, dipandang mampu memicu ketidaksukaan publik terhadap kelompok teroris. Selain itu, terbuka pula peluang pemerintah dan media massa untuk bekerja sama  menyusun strategi memerangi terorisme (Behm,1991: 247-242).
Kontroversi terhadap koverasi media pun salah satunya berakar dari pertanyaan tentang media massa sebagai bagian atau malah salah satu kelompok itu. Senada dengan Behm (1991: 239-242), dua kutub debat tentang koverasi media disampaikan pula oleh Norris, Kem dan Just (2003: 3-5). Mereka mengajukan pertanyaan tentang:
1.      Media massa berada satu posisi dengan kelompok teroris dan koverasi media massa justru memicu munculnya aksi-aksi kekerasan yang lain, serta sebaliknya
2.      Media massa berada di samping pemerintah dalam upaya memerangi terorisme, yang di antaranya dilakukan dengan dukungan politik dan dukungan kebijakan keamanan.
Namun berbeda dengan Behm, kontroversi posisi dan koverasi media massa oleh Norris, Kem dan Just kemudian dikaji lebih dalam lagi. Framing analysis (analisis terhadap pilihan topik, sumber berita, bahasa dan gambar) yang mereka lakukan mengantar pada tiga hal pokok news frame tentang keamanan nasional, bahaya dalam negeri dan ancaman luar,  persepsi tentang world terrorism yang berlebihan dan kekuatan pengaruhnya terhadap opini publik. Gambaran serupa diperoleh pula dari studi Schaefer (2003: 93-94) serta Nacos dan Torres-Re1ma (2003: 135). Munculnya istilah World Terrorism menegaskan gambaran kabur tentang pelaku dan aktivitas terorisme seperti yang diangkat dalam awal tulisan ini. Selain itu, world terroris melengkapi perubahan wajah terorisme dari lima (Behm, 1991: 235-236) menjadi tujuh.
World Terrorism, sebagai wajah keenam menyertai state-sponsored terrorism, faction-sponsored terrorism, crime-related terrorism, narcoterrorism dan issue-motioated terrorism, sebelum muncul wajah ketujuh, ke depan kita sebut dengan group-suspected terrorism,' yang dalam versi Amerika Serikat dikaitkan antara lain dengan jaringan al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Lebih lanjut tentang perang melawan terorisme yang digaungkan Amerika Serikat dan persoalan public relations bug Pentagon karena tudingan balik media-ized oleh al Qaeda secara kritis didiskusikan oleh Louw (2003: 211-230).
Kecurigaan terhadap adanya interdependensi teroris dan media ditegaskan oleh Giessmann (2002: 734-136). Menurutnya, kelompok teroris mencari perhatian media untuk sebisa mungkin mendapatkan penerimaan publik. Kelompok teroris kerap mengusung sensasi sebagai nilai berita yang mereka manipulasi untuk tujuan propaganda. Media massa, lebih lanjut, menerima bentuk simbiosis ini demi untuk mendapatkan gambar-gambar yang menarik dan berita-berita yang rnengejutkan serta menjadi leading newspaper terhadap kompetitomya. Padahal idealnya, menurut Giessmann, media massa memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk membatasi persebaran terorisme dengan pemberitaan yang lebih bersandar pada kesadaran moral dan reportase yang dipilah-pilahkan.
Isu tentang simbiosis antara media dan teroris melahirkan sejumlah isu lain dalam kaitannya dengan pertentangan antara keamanan nasional dan kebebasan pers, serta isu tentang masalah obyektivitas, kebenaran dan kebutuhan khalayak dalam pemberitaan media. Terhadap permasalahan ini, Chaudhary (2002: 15s-164) menegaskan perlunya tanggung jawab media dalam mewartakan terorisme. Menurutnya obyektivitas yang terkait dengan akurasi, fakta keseimbangan dan cara pandang tak bisa harus diikuti pula dengan kebijakan tentang fakta yang harus dilaporkannya diabaikan atau bahkan dilupakan secara total. Mengutip Robert M. Steele, Chaudhary membenahi logika pencarian dan penceritaan 'kebenaran' yang harus didasari dengan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan agar berita yang disusun akurat secara faktual dan otentik secara kontekstual serta kemampuan untuk mempelajari situasi dan bertindak secara cepat demi kepentingan publik. Bila obyektivitas dan kebenaran bisa dipahami, maka gugatan terhadap kepentingan keamanan nasional dan kebebasan pers bisa diminimalkan karena adanya kesepahaman yang lain dalam masalah akses dan kerahasiaan (dalam tarik menarik antara media dan pemerintah).
Dalam kesimpulannya tentang tanggung jawab media, Chaudhary (2ffi2: 163) menyatakan, "Media thus haae a dual responsibility in wartime: to seek the truth and report it as fully, factually, and fairly as possible; and to ensure that the competitiue aspect of the nature of their business does not lead to a aiolation of legitimate security concerns." Harus disadari, kesimpulan yang diberikan Chaudhury di atas lebih didasari hubungan antara media dan reportase terorisme paska kejadian 9 September. Kesimpulan lain berkemungkinan muncul bila yang dikaji lain, serta sudut pandang diubah dari kepentingan negara ke kepentingan pihak-pihak lain yang ikut "tersandung" dalam terorisme.
Kelompok teroris dengan kesadaran tinggi atas strategi media juga mampu memilih waktu yang paling tepat agar aktivitas mereka tersiarkan secara luas. Menit-menit menjelang breaking news dan sasaran dengan media exposure tinggi seolah masuk dalam perhitungan cermat kelompok teroris. Dapat dikatakan, strategi media kelompok teroris mampu  melakukan belanja media berefek besar dengan biaya mendekati nol. Tersirat, inilah kemurahhatian media yang paling tinggi terhadap suatu peristiwa yang menggunakan jasa media. Lebih dari itu, manajemen opini publik tergarap dengan baik oleh kelompok teroris. Belahan opini memang sebagian besar mengarah pada kecaman terhadap tindak kejam aksi terorisme atas dasar moral iudgemafis (Rusciano, 2003: 159). Di satu sisi, ini bersifat counter productiae terhadap upaya pencarian publisitas dan dukungan.
Celaan sejumlah pemimpin Negara dan penunjukan simpati pada korban aksi menandakan tidak adanya dukungan terhadap aksi kelompok teroris. Di sisi yang lain, kelompok teroris mampu pula menggiring opini publik untuk cenderung membenarkan aksi mereka, 'yang dilakukan adalah untuk membungkam arogansi Amerika Serikat'. Opini publik minoritas bisa menyetujui tindakan teroris dan memberi peneguhan tersendiri bila sebelumnya kelompok minoritas ini memiliki rasa tak puas pada Amerika Serikat. Gambaran umum yang ada, "sekaranglah waktunya duel maut antara Amerika Serikat dan kelompok teroris." Media massa, karena fungsi atau memang bidang aktivitasnya, pada gilirannya tampil dan turut berperan.
Bisa dikatakan, aktivitas terorisme lebih dikenal, dipahami dan disikapi karena sebaran liputan media. Kecepatan, percepatan dan cakupan luas sebar informasi tentang terorisme bergantung pada kerja institusi media. Pada tingkat yang sama, masyarakat mengikuti perkembangan peristiwa terorisme dengan bergantung pada media juga, Atau dengan kata lain, media massa menciptakan dua ketergantungan, publisitas bagi teroris dan koverasi unfuk masyarakat.
Bila aktivitas terorisme dipahami sebagai konflik yang terjadi antara kelompok teroris dan pihak yang ditarget maka posisi media berita dalam konflik itu bisa digambarkan sebagai berikut. Secara umum, media berita idealnya hanya bertindak sebagai story teller terhadap peristiwa itu (Prajarto ,7993:10). Penceritaan dengan menjawab formula 5W+H, pertimbangan piramida terbalik, nilai berita dan kelayakan muat cukup untuk mengantar sebagai  story teller dengan memenuhi standar profesional jurnalistik.
Setidaknya kehadiran media massa dalam liputan tentang terorisme tetap dipandang sebagai the third party. Persoalan meruyak ketika media massa mengambil peran tertentu dalam konflik antara kelompok teroris dan sasaran yang ditarget. Dengan keberpihakan tertentu, seperti yang diungkapkan Behm (7991,: 239-242) serta Norris, Kern dan just (2003a: 3-5), media massa cukup layak untuk menuai hujatan. Sepanjang pekerja media tak mampu menjaga prinsip kejujuran, verifikasi dan independensi serta tidak sekadar menjaga netralitas (Kovach dan Rosenstiel, 2001: 121-723) maka sifat partisan media sulit untuk terbantah. Lebih lanjut layanan media untuk kepentingan publik semakin jauh dari kenyataan. Di luar masalah keberpihakan, keterlibatan media terhadap konflik antara kelompok teroris dan target sasaran mereka dapat diklasifikasikan ke dalam perannya sebagai intensifier, diminisher (Arno, 7984: 3-1,4) dan ignorer. Nampaknya, terjerembab ke dalam klasifikasi semacam inilah yang banyak terjadi pada media massa saat melakukan koverasi terorisme dan bukan seperti yang diungkapkan Behm, Norris, Kern dan just dengan masalah keberpihakan media.
Bila kecurigaan terhadap adanya simbiosis antara terorisme dan media banyak digugat secara negatif, tinjauan terhadap hubungan antara pemerintah dan media berpeluang untuk melahirkan suatu strategi dalam perlawanan terhadap terorisme. Hal yang perlu disadari, identifikasi terhadap karakter isi liputan dan kecenderungan media mutlak harus dikenali dengan baik oleh pemerintah. Hal ini penting agar pemerintah memiliki strategi media yang tepat sebagai counter terhadap strategi media kelompok teroris, setelah pemerintah sendiri menentukan strateginya (non-strategi media) untuk menghadapi teroris.
Berdasar pengalaman internasional, perlawanan terhadap terorisme bukanlah suatu hal yang mudah. Namun dalam keyakinan Behm, pemerintah dan media dapat membentuk suatu tujuan bersama (common objectiaes) untuk memperkecil resiko kehidupan masyarakat akibat ulah teroris. Menurutnya pemerintah memfokuskan perhatian pada upaya meniadakan kekerasan serta melindungi kehidupan dan media menyusun laporan atas dasar semua fakta secara both atau multisided coaerage. Akan lebih ideal lagi bila sembilan elemen jurnalisme yang disebutkan Kovach dan Rosenstiel dapat dilakukan oleh pekerja media. Indonesia dapat mengadopsi strategi yang dipakai pemerintah Australia unfuk melakukan perlawanan terhadap terorisme.
Elemen-elemen strategi dalam pendukung tujuan bersama pemerintah dan media yang mengarah pada tersusunnya strategi media pemerintah adalah public communication policies and guidelines, the incorporation of media response and incident management strategies, media skills and techniques, serta physical control (Behm, 7991: 242-z4s). Pijakan utama dalam penerapan strategi ini adalah legitimasi media untuk mendapatkan dan mewartakan informasi sebanyak mungkin kepada publik dalam suatu kesetimbangan antara kebutuhan publik clan kerahasiaan tertentu yang harus tetap terjaga.
Pijakan berikutnya terletak pada upaya agar kelompok teroris dan pendukungnya tidak mendapatkan informasi tertentu dalam kategori rahasia bagi penanganan insiden dan rekoveri keamanan. Dalam batas tertentu, kredibilitas pemerintah untuk penanganan kasus dan pemulihan keadaan harus diupayakan agar memenangkan dukungan publik. Jika pemerintah secara tegas menyatakan diri tidak akan melakukan kompromi terhadap aksi kekerasan. Hubungan Pemerintah dan institusi media perlu diperjelas dengan menyatakan hal-hal berikut.
Pertama, pemerintah membutuhkan kerja sama media untuk menangani kasus terorisme. Kedua, level kontak antara pemerintah dan institusi media bisa dibatasi hanya pada level editor. Ketiga, reportase media terhadap kasus terorisme harus dievaluasi efeknya dan respon dalam pelayanan media dinyatakan sebagai bagian integral dari manajemen kasus.
Strategi media yang dijalankan pemerintah di atas kiranya akan lebih mudah dilaksanakan bila pematriks antara peran media dalam suatu konflik dan ragam wajah terorisme digunakan sebagai dasar. Pemerintah atau lewat pejabat yang berwenang dalam masalah keamanan, dapat menegaskan strateginya kepada sejumlah institusi media yang dari analisis matriks dipandang banyak berrnasalah. Namun satu hal yang harus tetap dipegang, seperti halnya kelompok teroris yang membutuhkan media untuk publisitas aksi mereka, pemerintah pun membutuhkan kerja sama media untuk menunjang perlawanannya terhadap kekerasan terorisme.

2.6.3.      Pers lawan RUU Keamanan Nasional
Seperti yang dilansir dari berita TEMPO.CO, Jakarta--Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan bahwa pemberitaan saja tak cukup bagi pers untuk melawan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Para insan pers, menurut dia, harus bersatu dan beraksi langsung menyuarakan penolakan. "Para pemimpin redaksi berkumpul, bersatu, lalu bersama-sama menyampaikan penolakan kepada parlemen," kata Agus ketika dihubungi Tempo, Ahad, 18 November 2012.
Mengapa hal demikian bisa terjadi ? karena kita ketahui bahwa jurnalis adalah orang-orang yang pekerjaannya adalah mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi kepada publik, RUU keamanan nasional bisa menutup akses informasi tersebut. Hal ini menyebabkan jurnalis sebagai pihak yang paling terancam oleh Rancangan Undang-Undang karena jurnalis yang mencoba menggali informasi bisa dianggap mengancam keamanan nasional.
RUU Keamanan Nasional memberikan wewenang kepada instansi untuk menyadap, memeriksa, dan menangkap. Karena itu, jurnalis akan menjadi sasaran yang mudah dituduh karena menguasai banyak informasi.
 Jurnalis memiliki hak untuk menyembunyikan identitas narasumber demi kepentingan narasumber itu sendiri. Namun apabila ada suatu berita muncul tanpa menyebut identitas narasumber. Jurnalis bisa dipaksa polisi mengungkapkan identitas tersebut, dan jika menolak, bisa diartikan mengancam keamanan nasional.
 Media massa yang kritis kepada pemerintah bisa dianggap mengancam negara. "Pemberitaan peristiwa Gerakan 30 September/PKI di majalah Tempo bisa saja nanti dianggap mengancam ideologi nasional," ujar Agus. Definisi ancaman, menurut dia, masih sumir. Apa pun bisa digolongkan sebagai ancaman.
 Agus Sudibyo termasuk salah seorang dari 29 tokoh masyarakat yang membuat Petisi Bersama Penolakan RUU Keamanan Nasional. Seluruh tokoh tersebut menyuarakan penolakan terhadap petisi yang berisi desakan kepada parlemen agar mengembalikan RUU Keamanan Nasional ke pemerintah karena tak jelas maksudnya, dipenuhi pasal karet, bertentangan dengan undang-undang lain, dan dinilai dapat mengancam hak asasi manusia serta demokrasi.
RUU Kamnas dicurigai berpotensi untuk menciptakan rezim otoriter baru. Kecurigaan ini muncul karena draft yang saat ini dibuat untuk mengatur situasi sekaligus sistem keamanan nasional, Ada kesan dipaksakan  dalam mengatur keduanya. Yang memberi otoritas besar pada presiden dan gubernur dalam  menangani keamanan.
Padahal, wewenang kepala daerah tentang masalah keamanan sudah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. “Hubungannya dengan aparat keamanan juga sudah dimasukkan dan tentu diatur dalam perangkat perundangan yang lainnya,” kata Mufti. Sedangkan untuk ancaman dalam skala nasional juga sudah jelas akan diatur oleh pemerintah pusat.
RUU Kamnas seharusnya memberikan definisi yang jelas tentang ancaman nasional bagi Indonesia. Karena yang kita butuhkan sekarang adalah perubahan paradigma dalam draft RUU Kamnas secara pasal per pasal. Dan RUU Kamnas dibuat lebih spesifik untuk menghilangkan multi tafsir dan kecurigaan masyarakat.




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Media massa sebagai penyedia informasi terbuka, berguna untuk masyarakat, menjadi penting artinya bagi pengembangan masyarakat, dan terutama untuk memastikan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah berjalan sesuai dengan rencana, dan mencapai sasaran yang telah disusun sebelumnya. dalam teori liberal dikemukakan bahwa fungsi dari media massa adalah membuka ruang demokratisasi yang dilakukan dengan cara membuka peluang terjadinya kebebasan berekspresi dan memberi kesempatan kepada berbagai kelompok masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya. Sehingga dengan demikian terciptalah stabilitas keamanan nasional, karena adanya hubungan yang saling terbuka antara media massa, publik dan pemerintahan. Yang mewujudkan berhasilnya pembangunan nasional yang meningktakan ketahanan nasional. Sehingga ketahanan nasional yang tangguh akan lebih mendorong pembangunan nasional. 

3.2  Saran
Media massa yang memiliki wewenang dalam memberikan informasi kepada khalayak luas / publik, dalam hal kebijakan pemerintah dan pembangunan nasional. Tidak di batasi penyebaran informasi mengenai seluk – beluk kepemimpinan pemerintahan  dengan adanya “flow of information” terhadap kebebasan pers yang dilakukan oleh para penguasa untuk merahasiakan kegiatan yang dilakukan dalam pemerintahan tersebut. 
Oleh karena itu perlu adanya aspek yang positif dan efectif bagi media massa. Untu mencapai tujuan yang demikian, maka harus diusahakan adanya fasilitas – fasilitas technis, kekuatan financial, organisasi yang baik, mudah untuk memperoleh informasi dan lain-lain.
Tanpa memasuki “press activities” sendiri, pemerintah dapat mengadakan perbaikan dalam kondisi-kondisi, sehingga kepentingan umum dapat dilayani secara baik, misalnya bahwa pemerintah memberikan fasilitas- fasilitas dalam perusahaan pers, menghilangkan rintangan-rintangan terhadap  “flow information” dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA
Pawito.2008. “Komunikasi Politik Media Massa Dan Kampanye Pemilihan. Pengging: Jalasutra
Bungin,burhan. 2008. “kontruksi sosial media massa.” Surabaya: Kencana
Adji,Oemar Seno.1973. “Mass Media Dan Hukum (second edition).” Jakarta: Erlangga
Suranto,Hanif. Ignatius Haryanto.Umi Lasmina.2005. “Media Sadar Publik.” Jakarta: LSPP
Moore,Fraizer.1988. “Hubungan Masyarakat, Remadja” Bandung
Mcquail, Denis.1989. “Teori Komunikasi Massa”. Jakarta: Erlangga
Prajarto, Nunung.“Jurnal IImu Sosial dan llmu Politik”,VoI. 8, No.1,luli 2004
http://arriwp97.blogspot.com/2010/06/peranan-media-massa-dalam-kehidupan.html, diakses 20 Desember 2012, pukul 13.02 WIB

Comments

Popular posts from this blog

METABOLISME KARBOHIDRAT

Hikayat Tikus dan Kucing Hutan